Postulat Einstein
Tuesday, July 12, 2011 / (0)
Postulat Einstein
oleh : Enya Rima Rahman

Oktober 2009
Guru fisika berkumis tebal ini sungguh menyebalkan. Berkali-kali menjelaskan mengenai Postulat Einstein yang tak kumengerti. "Kebenaran itu relatif. Tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada yang benar-benar salah," begitu ucapnya berulang kali.
Kalau begitu, aku tidak benar-benar salah? Begitu juga denganmu.
*****

November 2009
Kita sama-sama diam tak bersuara. Meski aku duduk di ujung depan dan kamu di ujung belakang. Kita sama-sama tahu, meski tanpa surat bermaterai, bahwa mengeluarkan suara akan menghancurkan hidup kita. Cita-cita, keluarga, dan citra dimata umum diperaruhkan. Kita sama-sama rugi.
Tapi setelah kuhitung-hitung, kerugianmu hanya 0,5%. Kerugian karena kehilangan sperma jahanam yang secara gratis kau berikan padaku. Dan 99,5% sisanya adalah kerugianku. 99,5% kali 270 hari ditambah berjuta kali kebohonganku. Hanya untukmu, Sayang!


*****
Desember 2009
Bukankah lima bulan lagi kita UN? Kamu ingat? Tapi, alih-alih belajar kimia untuk UN, aku justru mengingatmu. Mengingat perjalanan cinta kita, tak semulus dan sesempurna sinetron memang. Tapi ini...cinta kita. 
Pertama aku mencintaimu. Entah sejak kapan, semuanya muncul begitu saja. 
Kita satu kelas, dipisahkan jarak bangku-bangku kelas jahanam itu. Tapi aku tahu, kau sering diam-diam melirikku. Karena akupun melakukan hal yang sama. Kamu tahu Sayang, gadis remaja sepertiku, suka dengan cowok misterius sepertimu. Membuat rasa ingin tahu kami semakin membuncah. Dan kutebak kau juga suka gadis seperiku. 
Lalu kita saling bertukar pandang, saling melempar senyum, berceloteh seperti burung beo, bercanda tak karuan waktu kau menemaniku menunggu jemputan, hingga kita tak dapat dipisahkan. 
Tentu. Tentu saja, tak ada yang tahu. Tidak orangtua kita, tidak juga teman-teman kita. Karena kita sudah memiliki pilihan masing-masing. Tapi, kebenaran itu relatif bukan? Dan kita benar, Sayang. Lagi pula, cinta tak pernah salah. 
Biarlah Rangga tetap mencintaiku, dan Siska tetap mencintaimu. Meski diam-diam, cinta itu menyakitkan.
 
*****

Sayangku, ini aku yang mencintaimu. Mencintai baik kekurangan maupun kelebihanmu. Mencintaimu terasa lebih lama daripada hidupku yang baru belasan tahun. Layaknya Postulat Einstein, waktu relatif terhadap setiap pengamat. Kamu relatif baik kepadaku, akupun relatif baik kepadamu. Aku suka sekali postulat ini. Segalanya terasa abu-abu. Begitu juga saat kuputuskan untuk mengizinkanmu, mencicipi manisnya diriku. 
Sayang, aku lupa. Lima bulan lagi juga akan ada penghuni baru di dunia ini, yang mirip denganmu. 

*****

Januari 2010
Aku memikirkan cia-citaku. Guru, dokter, polisi.
Guru? Bagaimana bisa menjadi guru untuk muridku jika aku tak bisa mengajari diriku sendiri? Salah. Aku bukan contoh yang baik untuk murid-muridku.
Dokter? Bagaimana bisa menjadi dokter kalau tiap malam kupukuli daging hidup dalam perutku ini? Bukan pilihan tepat. Melanggar etika kedokteran.
Polisi? Apa aku layak menjadi polisi, sementara sudah melanggar hukum negara ini? Tidak. Pilihan terakhir hanya Ibu Rumah tangga. Itu pun tidak mungkin. Seorang ibu harus sayang pada anaknya, bukan? Sama sekali bukan aku.

*****

Tiap malam aku berdoa kepada Tuhan. Sebobrok apapun aku, aku tetap hambaNya. Aku berdoa supaya Tuhan menghilangkan sesuatu di perutku ini. Atau paling tidak, buat rohnya tak sanggup berjanji padaMu untuk menjadi manusia dan menjadi anakku. Hingga Kau angkat rohnya dari perut buncitku. Itu tak terjadi!

 *****
Februari 2010
Aku tak menyangka akan berbohong semudah ini. Santet. Satu kata itulah yang meluluhkan seisi ruang guru. Menyebar cepa keseluruh sekolah hingga mereka mengasihaniku.
Lusi, siswa berprestasi yang terkena santet orang tak bertanggung jawab hingga perutnya membesar. Ada silet di tubuhku. Itu yang aku katakan kepada mereka. Menggelikan. Ya, aku telah disantet. Olehmu, Sayang!
Siswa macam apa aku, berbohong pada guruku sendiri? Bukan. Guru macam apa mereka, bisa dibohongi anak ingusan seperti aku? Aku hanya tersenyum getir. Pembenaran atas diriku sendiri. Sekali lagi kupakai Postulat Einstein, kebenaran itu relatif. Untukku saat ini : aku benar.
Aku benar saat aku berkeliling lapangan mengomando pasukan paskibra untuk latihan mengikuti lomba. Aku benar saat aku berjalan beriringan dengan Rangga layaknya Romeo dan Juliet. Aku benar saat seharian berkeliling mall dengan teman-temanku hanya untuk sebuah kesenangan. Aku salah! Saat kurasakan perut ini membesar. Aku salah! 
Sayang, kamu masih disana? Berkumpul dengan teman-temanku tanpa rasa bersalah. Tak lagi kau menyapaku, tersenyum, ataupun menatapku. Kau menghindar! Enak sekali menjadi laki-laki. Membuang-buang barang berharganya tanpa ada harga sama sekali. 
Sayang, aku tahu kamu sayang sekali padaku. Kamu hanya...takut. Tapi Sayang, aku menderita disini. Aku ingin menangis di bahumu selama mungkin, aku ingin melihat senyummu, aku ingin kau mengelus lembut perutku. Sayang, kau tak melakukan itu. 
Bahkan Rangga pernah mencoba memegang perutku yang dihuni 'silet' tapi kucegah sebelum berhasil. Sayang, perlakuan Rangga padaku membuatku makin muak padanya. Tapi tidak padamu, aku sayang padamu. 
Kau tak menarik tanganku lalu mencekikku untuk memaksaku menggugurkan kandungan ini. Tapi kamu tak juga menarik tanganku lalu membawaku ke rumah supaya kita bisa menikah. Kamu hanya diam. Karena kamu tahu, aku tak akan bicara satu patah pun tentang kamu. Dan itu lebih menyakitkan daripada harus dibakar hidup-hidup.


*****
Maret 2010
Satu bulan menjelang UN. Aku frustasi. Matematika mengingatkan hari kelahiran daging bernyawa ini. Biologi mengingatkan nista perbuatan bersamamu. Fisika mengingatkan akan massaku yang bertambah juga kumpulan atom-atom mikro yang bergejolak dalam perutku. Semuanya mengingatkanku padamu! Hanya padamu, Sayangku.

*****
April 2010
Sayang, semuanya sudah berakhir. Di sini, bulan ini. Dua hari sebelum UN. Mereka mengadili kami, aku dan Rangga. Di ruang kepala sekolah dikelilingi guru-guru yang menatap jijik padaku. Memaparkan hasil USG di depan wajah kami. Laki-laki, bayinya laki-laki.
Kupikir Rangga akan menghajar atau membunuhku bila perlu. Tapi dia tidak melakukan itu, Sayang. Dia diam. Lebih diam dari patung burung garuda di atas kepalaku. Aku bisa saja mengatakan bahwa ini anakmu, bukan? Tapi tidak kulakukan. Mulutku kelu. Aku juga ikut diam. 
Sayang, cintaku padamu ternyata salah. Salah besar. Postulat Einstein itu salah. Ada yang benar-benar salah di dunia ini. Yaitu, saat aku mencintaimu. Cinta itu salah.
Karena cinta itu aku tak bisa meneruskan cita-citaku. Karena cinta itu kedua orangtuaku tak lagi menatapku dengan tatapan penuh bangga. Karena cinta itu aku telah menghancurkan cita-cita Rangga. Lebih hancur dari gelas kaca yang dilempar dari lanta 25. Kami, kami yang hancur. Bukan kamu, Sayang.

*****
November 2010
Jika mencintaimu adalah suatu penghinaan, maka akan kurajut hinaan itu dan akan kuhias dengan senyuman. Supaya orang tahu, betapa berharganya cintaku. 
Sayang, tahukah kau siapa yang menghapus air mataku selama ini? Menggenggam tanganku, mengelus perutku, melantunkan adzan pada bayi laki-lakiku, menjejakkan kakinya dibelakang jejakku. Rangga. Dia Rangga.
Rangga tak pernah bertanya siapa ayah bayi laki-laki ini. Rangga tak pernah berhenti tersenyum. Rangga tak pernah mengutukku. Rangga tak pernah meninggalkanku. Dan Rangga tak pernah menyalahkan cintaku padamu.
Aku masih ingat jelas perlakuan Rangga padaku setelah kami dikeluarkan. Seharian dia menggenggam tanganku, membawaku keliling Surabaya agar aku tersenyum, mengajakku menemui orangtuaku dan mengakui semuanya. Dan dia, mempersilahkan dirinya untuk menikahiku. 
Sayang, cintaku padamu tak pernah salah. Mencintaimu adalah suatu pembelajaran. Atas kehidupanku juga kehidupanmu. Pembelajaran bahwa kebenaran ataupun kesalahan tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Sudut yang buruk atau yang baik.  
Kamu tahu, kata-kata Rangga yang mampu membuatku tetap disini, menatap bayi laki-laki ini, bayi kita. Aku masih ingat dengan jelas suara lembutnya berbisik di telingaku, "Jika mencintaimu adalah memaklumi, maka biarkan aku belajar untuk memaklumi masa lalumu." Sayang, tahukah nama bayi laki-lakiku? Namanya Rama.

*****
Siska menutup jurnal hijau itu dengan cepat. Ada sesuatu ditubuhnya yang membuatnya merasa kebas, jantungnya masih berdetak cepat. Siska menutup mata, mencoba mengingat kejadian tadi siang.
Dia bertemu Lusi, di sekolah mereka dulu. Sambil menggendong anaknya, Lusi memberikan jurnal itu kepadanya.

*END*

           
a/n : fiction ini mengingatkan kita agar lebih berhati-hati dalam pergaulan. Dan satu lagi, untuk gadis-gadis di luar sana yang sudah punya pacar, jangan begitu saja menyerahkan 'mahkota' kita kepada pacar kita. Selain mengakibatkan kehamilan, kerusakan fisik dan mental, juga dilarang oleh negara dan agama. So, pacaran yang baik-baik aja ya..

Labels:


Copyright © 2014, ALYSH. All right reserved.